Perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang dimulai sejak tahun 2018 telah menjadi salah satu peristiwa ekonomi global paling signifikan di era modern. Kedua negara adidaya ini saling memberlakukan tarif impor tinggi terhadap berbagai komoditas yang menjadi tulang punggung perdagangan bilateral mereka sehingga menciptakan efek domino yang meluas ke seluruh dunia. Bagi Indonesia sebagai negara berkembang yang bergantung pada ekspor komoditas primer serta integrasi dalam rantai pasok global konflik ini membawa implikasi langsung yang kompleks. Meskipun tidak menjadi pihak utama dalam perselisihan tersebut Indonesia merasakan getaran kuat melalui penurunan permintaan global gangguan rantai pasok serta pergeseran alur perdagangan. Analisis mendalam terhadap fenomena ini mengungkapkan bagaimana perang dagang tersebut memengaruhi berbagai aspek ekonomi Indonesia mulai dari neraca perdagangan hingga investasi asing.
Salah satu dampak langsung yang paling terasa adalah gangguan terhadap ekspor Indonesia ke kedua negara tersebut. Amerika Serikat dan China merupakan dua mitra dagang utama Indonesia dengan nilai ekspor yang mencapai miliaran dolar setiap tahunnya. Ketika Amerika Serikat memberlakukan tarif hingga 25 persen terhadap barang-barang China seperti elektronik tekstil dan peralatan listrik permintaan China terhadap bahan baku dari Indonesia pun menurun secara signifikan. Sebagai contoh sektor tekstil Indonesia yang bergantung pada pasokan kain dan benang dari China mengalami penurunan pesanan karena pabrik-pabrik China mengurangi produksi untuk menghindari tarif tersebut. Hal serupa terjadi pada ekspor nikel dan batubara ke China di mana permintaan turun sekitar 10 hingga 15 persen pada tahun-tahun awal konflik sehingga menyebabkan pendapatan ekspor nasional merosot. Di sisi lain ekspor ke Amerika Serikat juga terdampak karena konsumen di sana menghadapi harga barang impor yang lebih tinggi sehingga daya beli menurun untuk produk-produk Indonesia seperti furnitur dan alas kaki. Akibatnya neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sementara pada periode 2019 hingga 2020 dengan penurunan volume ekspor mencapai 5 persen secara keseluruhan.
Selain itu perang dagang ini memicu pergeseran rantai pasok global yang berdampak langsung pada investasi langsung asing di Indonesia. Banyak perusahaan multinasional yang sebelumnya berbasis di China memilih untuk memindahkan operasionalnya ke negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia untuk menghindari tarif Amerika Serikat. Fenomena ini dikenal sebagai strategi China plus satu di mana Indonesia menjadi salah satu penerima manfaat utama. Misalnya investasi di sektor manufaktur elektronik melonjak dengan kedatangan pabrik-pabrik dari perusahaan seperti Samsung dan Foxconn yang membangun fasilitas baru di Jawa Barat dan Batam. Nilai investasi asing langsung yang masuk ke Indonesia meningkat sekitar 20 persen pada tahun 2019 dibandingkan tahun sebelumnya terutama dari investor China yang mencari basis produksi alternatif. Namun manfaat ini tidak merata karena sektor-sektor tertentu seperti pertanian justru mengalami kerugian. Harga komoditas global seperti kedelai dan jagung yang diekspor dari Amerika Serikat ke China naik akibat tarif balasan dari China sehingga biaya pakan ternak di Indonesia membengkak dan memengaruhi industri peternakan sapi serta ayam ras. Petani kecil di pedesaan merasakan tekanan ini secara langsung dengan penurunan pendapatan hingga 15 persen karena harga input produksi yang lebih mahal.
Dampak lain yang tidak kalah krusial adalah ketidakpastian nilai tukar dan inflasi yang menyusul perang dagang tersebut. Rupiah Indonesia mengalami depresiasi signifikan terhadap dolar Amerika Serikat karena investor global menarik dana dari pasar emerging markets untuk menghindari risiko geopolitik. Pada puncak konflik nilai tukar rupiah sempat mencapai Rp14.500 per dolar yang merupakan level terendah dalam dua dekade. Hal ini membuat impor barang modal dan bahan baku menjadi lebih mahal sehingga mendorong inflasi domestik naik sekitar 0,5 hingga 1 persen di atas proyeksi awal. Sektor UMKM yang bergantung pada impor komponen seperti plastik dan kimia merasakan beban ini secara langsung dengan biaya produksi yang meningkat dan daya saing yang menurun di pasar ekspor. Pemerintah Indonesia terpaksa melakukan intervensi melalui Bank Indonesia dengan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 25 basis poin untuk menstabilkan rupiah meskipun hal tersebut memperlambat pertumbuhan kredit bagi pelaku usaha.
Lebih lanjut perang dagang ini juga memengaruhi sektor tenaga kerja dan distribusi pendapatan di Indonesia. Di satu sisi relokasi pabrik menciptakan lapangan kerja baru terutama di kawasan industri dengan penyerapan tenaga kerja mencapai ratusan ribu orang di bidang perakitan elektronik dan tekstil. Namun di sisi lain penurunan ekspor komoditas primer menyebabkan pemutusan hubungan kerja di sektor pertambangan dan perkebunan dengan ribuan pekerja di Kalimantan dan Sumatera yang terdampak. Ketimpangan ini memperburuk distribusi pendapatan di mana kelompok berpenghasilan rendah di pedesaan mengalami peningkatan kemiskinan sementara kelas menengah perkotaan di Jawa mendapat manfaat dari investasi baru. Studi ekonomi menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia naik sekitar 0,2 persen akibat efek ini meskipun secara keseluruhan pertumbuhan PDB tetap stabil di kisaran 5 persen per tahun.